Hari AIDS Sedunia atau World AIDS Day diperingati pada 1 Desember setiap tahunnya. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya penyakit AIDS yang disebabkan oleh virus HIV. Pada tahun ini, hari AIDS menyerukan akses kesehatan yang merata untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Di Indonesia, Kementrian Kesehatan mencatat hingga Maret 2021, jumlah orang dengan HIV mencapai 427.201 orang dan jumlah orang dengan AIDS mencapai 131.417. Sebagai upaya menahan laju peningkatan AIDS di Indonesia, pemerintah melalui Kementrian Kesehatan berkomitmen untuk mencapai Three Zero pada tahun 2030,yaitu tidak ada lagi infeksi baru, tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan tidak ada diskriminasi pada ODHA. Komitmen tersebut tercermin dalam target strategi 95-95-95, yakni 95% ODHA mengetahui status infeksi HIV-nya, 95% ODHA menjalani terapi pengobatan antiretroviral (ARV), dan 95% ODHA kadar virus dalam darahnya tersupresi.
Momen ini diangkat oleh Ruang Publik KBR dalam menyuarakan informasi dan mengedukasi masyarakat mengenai AIDS di Indonesia. Mengusung tema “Sisi Lain Sejarah Epidemi HIV & AID di Indonesia”. Diskusi ruang publik ini dilaksanakan virtual live streaming Youtube dan disiarkan melalui 101 jaringan KBR di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua, Kamis (16/12). Hadir sebagai nara sumber diskusi yakni Prof. Dr.dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI selaku Anggota Badan Pembina YKIS, dan sharing pengalaman dari Asti Septiana sebagai ODHIV.
Sejarah HIV/AIDS dan Obat ARV
Penanganan kasus AIDS di Indonesia yang berjalan cukup baik tidak terlepas dari adanya kerjasama yang antar semua pihak yang terkait, mulai dari pemerintah, akademisi hingga lembaga swadaya masyarakat serta teman-teman ODHIV dan ODHA. Sehingga harapan menuju target 95-95-95 dapat tercapat, meski saat ini baru menginjak 75% yang mengetahui status HIV-nya.
Berbicara tentang sejarah HIV/AIDS di Indonesia, Prof. Samsuridjal mengatakan bahwa permulaan laporan HIV/AIDS adalah inisiatif dari masyarakat. Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di sekitar tahun 1986, dan sejak saat itu bermunculan lembaga-lembaga swadaya, baik di masyarakat maupun perguruan tinggi. Tahun 1986 di Universitas Indonesia sudah berdiri Podiksus AIDS (Kelompok Studi Khusus AIDS), tahun 1989 Yayasan Pelita Ilmu mengkhususkan pada penyuluhan dan pencegahan.
Sementara mengenai obat ARV sebagai pengobatan untuk perawatan infeksi HIV, beliau melanjutkan keterangannya bahwa obat antiretroviral ini ditemukan sekitar tahun 1997. Indonesia mengalami kesulitan untuk mendapatkannya dikarenakan dua hal yakni pertama karena beluma ada obatnya, dan kedua harganya yang amat mahal dalam satu bulan kira-kira 1.000 dolar atau setara 14 juta rupiah untuk obatnya saja.
“Pokdiksusnya FKUI itu berangkat ke India tahun 2001 untuk mencoba membeli arv generic yang harganya tadi 1000 dolar, kalau di harga pasarnya. Kalau harga generiknya hanya sekitar 30 dolar. Jadi jauh sekali lebih murah. Berhasil membeli hanya untuk 30 orang, karena punya uangnya cuma 1000 dolar waktu itu. Di bawa ke indonesia dengan izin dari badan POM dan Kementerian Kesehatan. Sehingga tahun 2002, kita sudah mulai menggunakan obat arv di Indonesia,” kata Prof. Samsuridjal dalam keterangannya.
Mengutip dari keterangan Prof Samsuridjal mengenai fakta perbedaan yang besar saat ada obat arv dan sebelum ada obat arv, yakni:
- Sebelum adanya obat arv
mereka yang terinfeksi HIV dan berada pada stadium yang sudah berat. Usia harapan hidupnya hanya sekitar 6 bulan dan paling lama 1 tahun. Di Indonesia, upaya yang dilakukan adalah menyediakan rumah penampungan/shelter. Dengan alasan, pertama keluarga merasa takut tidak mengerti bagaimana merawat anggota keluarga, dan kedua karena tidak ada obat akan segera meninggal.
- Sesudah ada obat arv.
Dengan adanya obat antiretroviral ini, maka virusnya bisa ditekan pertumbuhannya sehingga tidak bisa berkembang biak, bisa menjadi tidak terdeteksi dan kekebalan tubuh naik kembali. Orang dengan HIV atau AIDS akan kembali ke keadaan sebelum terinfeksi. Berat badannya bisa naik 10-15 kg, bisa bekerja dan bersekolah kembali.
Penggunaan obat ARV untuk pengobatan penderita HIV dikatakan memiliki efektifitas yang tinggi. Orang dengan HIV atau orang dengan AIDS bisa mendapatkan kekebalan tubuhnya kembali normal untuk melawan penyakit. Bahkan untuk ibu yang hamil bisa melahirkan bayi tanpa menularkan baik pada suami maupun pada anak yang dilahirkannya. Syaratnya hanya satu yakni tidak boleh putus minum obat, dan harus minum secara teratur.
Kita juga patut bersyukur karena pemerintah sejak tahun 2005 sudah membuat program obat ARV subsidi penuh, artinya masyarakat tidak perlu membayar. Program ini telah berjalan hingga kini sekarang 2021, artinya sudah 16 tahun program berjalan dan terus konsisten.
Selain itu, Indonesia telah memproduksi obat arv di dalam negeri sejak 2004, sehingga lebih terjamin pengadaannya. Obat arv ini bisa didapatkan di layanan kesehatan hampir di semua rumah sakit seluruh Indonesia. bahkan sudah ada banyak puskemas yang menyediakan obat arv ini, sehingga lebih dekat pada mereka yang membutuhkan.
Tingkat kesadaran di masyarakat dan stigma
Stigma terhadap ODHIV/ODHA ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Yang membedakan hanyalah pada tingkat pemahaman itu lebih cepat, maka stigma yang terjadi akan lebih cepat hilang.
Prof Samsuridjal berpendapat bahwa stigmatisasi yang terjadi karena kekurangpahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS. Dan orang yang melakukan stigma itu bukan orang jahat. Karena ketidakpahaman itu, ia bersikap yang merugikan bagi ODHIV maupun ODHA. Kunci dari melawan stigma ini adalah penyuluhan informasi yang benar sehingga mereka bisa memahaminya.
Dalam mengedukasi masyarakat, Prof. Samsuridjal mengutarakan program yang dilakukan YKIS (Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat) sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, yakni.
- Memberikan informasi secara luas, seperti melalui seminar, webinar dengan turut melibatkan remaja agar dapat tersampaikan informasinya kepada teman-teman sebayanya.
- Perubahan-perubahan perilaku yang memang itu berisiko. Jadi hubungan seksual yang aman baik dengan pasangan yang kita yakini tidak memungkinkan menularkan pada kita. Dan juga jika memungkinkan penggunaan alat untuk bisa mencegah penularan.
Prof. Samsuridjal menghimbau kepada masyarakat untuk memahami penularan HIV sehingga bisa menghindari diri dari penularan bersama keluarga dan teman-teman. Bagi yang terinfeksi agar tidak panic, sudah tersedia obat yang bisa menyebabkan virus itu tidak berkembang biak. Carilah teman dan sahabat yang mendukung dan menjaga supaya bisa meminum obat secara tepat waktunya.
Sharing pengalaman ODHIV
Asti menyampaikan pengalamannya bahwa didiagnosa persis pada 16 Juni 2011 yang tertular dari suami yang dahulunya pernah memakai narkoba jenis putau sebelum tahun 2000. Terapi obat dilakukan pertama kali di 2011, dan dengan pengobatan yang teratur bisa tetap hidup sehat.
Sejalan dengan pernyataan dari Prof. Samsuridjal mengenai stigma di masyarakat. Asti mengatakan bahwa orang yang melakukan diskriminasi stigma karena mereka tidak paham, bukan orang jahat, tapi karena ketidaktahuan.
“Informasi itu harus menyentuh manapun, dan kadang-kadang kalau kita masih di program itu, informasi itu yang terpapar hanya kelompok tertentu. Kalau kita lebih bebas keluar, yang simpel aja deh sama tetangga sama teman-teman anak, guru-guru anak-anak saya, terutama yang remaja tahu pencegahan, yang bertanya juga tidak malu. Saya ingin seperti informasi HIV/AIDS itu tidak hanya di ruang tertutup, sehingga masyarakat awam lebih cepat mengetahui. Dan masyarakat itu lebih mudah dipahami dengan bahasa yang sesimpel mungkin. “ ujar Asti yang saat ini fokus menulis buku sejak 2016 dan aktif di media sosial dalam menyebarkan informasi mengenai HIV/AIDS
Asti mengajak masyarakat untuk kembali memahami informasi HIV yang benar, tidak percaya sama mitos, memahami pencegahan penularan, termasuk prinsip penularannya. Selain itu tidak membuka bungkusan moral juga.
Comments
Post a Comment