Pandemi covid-19 yang hampir berjalan selama dua tahun ini telah membawa beragam tantangan bagi kehidupan perempuan. Dalam lingkup global pandemi ini disebut-sebut telah memperburuk ketimpangan gender dan telah membawa situasi sangat berbahaya bagi perempuan. Hal ini dikarenakan pandemi covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, melainkan juga krisis ekonomi dan sosial yang meningkatkan risiko terjadinya kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Pemberitaan tentang kekerasan berbasis gender telah meningkat sejak pandemi. Namun, masih kurang mengulas mengenai keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan seksisme dan ketidaksetaraan gender. Dimana keduanya merupakan akar masalah dari terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dengan menyajikan narasi yang mengangkat akar masalah kekerasan terhadap perempuan. Berharap masyarakat lebih sadar perlunya merubah kondisi yang menempatkan perempuan sebagai obyek kekerasan.
Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Yayasan Care Peduli (YCP) dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) menggelar diskusi “Ubah Narasi: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan”, pada Jumat 25 November 2021 secara daring dan live streaming Youtube.
Acara ini bertujuan untuk mengintensifkan diskusi terkait pentingnya peran media dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan dengan peliputan yang berperspektif korban. Sekaligus mempromosikan norma-norma positif yang mendukung pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
Bonaria Sihaan selaku CEO Yayasan Care Peduli memaparkan data yang dikutip dari survey BPJS tentang pengalaman hidup perempuan yang dilakukan pra pandemi tahun 2017 menemukan bahwa 1 dari 3 perempuan di Indonesia yang berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual dalam hidupnya. Dan bila menggunakan data populasi jumlah penduduk tahun 2021. Diartikan masih ada sekitar 31 juta perempuan Indonesia yang pernah dan mengalami kekerasan. Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan harus terus dilakukan dan merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk media.
Serupa dengan yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, memaparkan bahwa catatan Komnas Perempuan tahun 2020 memperlihatkan selama 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat 8 kali lipat.
Beliau mengatakan secara umum upaya menurunkan kekerasan terhadap perempuan terdiri dari upaya promotif dan preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif dan preventif merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah kasus terjadi. Sementara upaya kuratif dan rehabilitatif merupakan upaya yang dilakukan untuk menangani kasus yang terjadi.
“Dalam hal ini media memiliki tugas yang sangat penting khususnya untuk berperan di wilayah promotif dan wilayah preventif. Sebagai lembaga yang membentuk nilai-nilai sosial, media menjadi alat yang ampuh untuk advokasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender,“ kata Menteri PPPA, dalam keterangannya sebagai Keynote Speaker, Kamis (25/11/2021)
Selayaknya seekor burung tidak ada yang bisa terbang tinggi jika hanya salah satu sayapnya saja yang mengepak
- Ibu Bintang Puspayoga, Menteri PPPA -
Selain kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah komunal dan komunitas, Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang turut menyoroti tentang kekerasan cyber berbasis gender yang marak terjadi selama pandemi dan seringkali diabaikan diabaikan oleh masyarakat. Beliau memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan cyber terhadap perempuan:
Menunjukkan terdapat 407 kasus pada tahun 2019. Dalam kurun waktu dua tahun (2019-2020) terjadi peningkatan sangat drastis sebanyak 350% menjadi 1.452 kasus kekerasan cyber. Fenomena ini ironisnya penegakan atau penanganan hukum terhadap perempuan korban kekerasan cyber belum berjalan maksimal.
“Selain kita menunggu ada instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan, maka Komnas Perempuan memandang media menjadi salah satu mitra strategis Komnas Perempuan untuk pencegahan dan penanganan kasus, termasuk mendukung upaya pemulihan terhadap korban” ucap Veryanto.
Ada beberapa poin yang beliau sampaikan terkait hal tersebut dengan harapan kebijakan-kebijakan atau berita-berita yang dinaikkan oleh media dapat berpihak pada perempuan.
- Efektifitas media sebagai penyambung suara korban, dimana pemberitaan media menjadi jalan pembuka penanganan kasus pada korban.
- Media berkontribusi untuk mendampingi korban, dimana media proaktif mencari tahu lembaga layanan yang dapat membantu korban.
- Pemberitaan media efektif untuk melakukan pencegahan sebagai proses pendidikan publik yang berfungsi untuk perubahan kebijakan.
Veryanto menambahkan bahwa media semestinya memenuhi kode etik yang berpihak pada korban dengan ubah narasi dalam bentuk:
- Tidak mengungkap identitas korban, termasuk ketika pelakunya adalah anak,
- Tidak menstigmasi korban sebagai pelaku kekerasan,
- Tidak mengukuhkan stereotipe kepada korban,
- Tidak kembali melakukan penghakiman terhadap korban,
- Tidak menggunakan diksi yang bias,
- Tidak menggunakan nara sumber yang bias, yang tidak ada kaitannya dengan substansi,
- Tidak kembali melakukan refleksasi kekerasan,
- Tidak mencampurkan fakta dan opini, dan
- Tidak mengandung informasi cabul dan sadis.
Produser Film, Lola Amaria menyatakan di luar kekuatan media yang sangat signifikan, kita semua memiliki peran. Konsen yang sangat penting adalah harus memulai dari diri sendiri. Jika sudah dilakukan kemudian berjalan dari kelompok kecil dan di tempat kerja.
“Contohnya dalam pembuatan film, setiap kru dan artis yang bekerjasama dengan saya harus menyetujui kontrak kerja dimana terdapat pasal yang melindungi hak-hak perlindungan perempuan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran. “ ujarnya.
Co-founder dan Editor-in-chief Magdelene.co, Devi Asmarani menggarisbawahi dalam diskusi, menggubah narasi adalah menguatkan atau memperkuat apa yang dinamakan jurnalis ramah gender. Yakni jurnalisme yang terus dan turut menyoroti tentang kesenjangan relasi antara laki-laki dan perempuan ataupun gender lainnya. Serta juga menjadi solusi ketika mainstream dan konvensional jurnalisme menjadi masalah dari berbagai ketidakadilan berbasis gender.
Dalam paparannya disebutkan apa yang bisa dilakukan mewujudkan jurnalis ramah gender.
- Menyeleksi berita dan nara sumber untuk mencapai keseimbangan antara perempuan.
- Meniadakan stereotipe.
- Merepresentasi gambaran dan dimensi dari perempuan tentang perempuan.
- Bahasa yang sensitif gender.
- Memastikan kesetaraan gender dalam organisasi terutama perusahaan media.
Dalam acara tersebut, Cresti Fitriana, National Project Officer Communication and Information, UNESCO Jakarta mempresentasikan informasi dan sumber bagi jurnalis dan media profesional dari publikasi pelaporan kekerasan pada perempuan
Beliau mengatakan terdapat 15 panduan umum yang dikeluarkan oleh UNESCO yang bisa dijadikan panduan dan standar jurnalis dalam melakukan pelaporan kekerasan terhadap perempuan. Ia pun menggarisbawahi pentingnya jurnalis dan jurnalisme dapat sebagai solusi dan dapat memiliki efek pelindung yang berkontribusi memberikan protektif tidak hanya kepada korban, tetapi juga kasus kekerasan terhadap perempuan.
*Acara diskusi ini dapat di tonton ulang di laman Youtube Yayasan Care Peduli.
Comments
Post a Comment