Hari Dokter Nasional diperingati setiap 24 Oktober setiap tahunnya. Tanggal 24 Oktober sekaligus dijadikan sebagai HUT organisasi profesi dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Peringatan Hari Dokter Nasional tahun ini merupakan kali kedua diperingati pada masa pandemi Covid-19. Pada masa pandemi ini, dokter dan tenaga medis memegang peranan paling penting dalam penanganan pasien yang terpapar Covid-19.
Keberadaan dokter diakui memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Namun, rasio kapasitas jumlah dokter yang di Indonesia nyatanya masih sangat rendah, yakni 0,4 per 10.000 penduduk. Artinya hanya ada 4 dokter untuk melayani 10ribu penduduk. Jumlahnya semakin mengkhawatirkan saat pandemi virus corona yang menyebabkan hampir 2ribu tenaga kesehatan berguguran dan berdampak pada layanan kesehatan menjadi tidak optimal.
Tantangan saat ini banyaknya daerah terpencil yang belum mendapatkan pelayanan dokter dikarenakan distribusi dokter yang masih belum merata. Salah satunya kelompok daerah terpencil yang masih terdampak oleh penyakit kusta. Karena di banyak kasus, para pasien kusta harus putus berobat dan tidak mendapatkan layanan kesehatan yang semestinya. Akibatnya temuan kasus baru menurun dikarenakan aktivitas pelacakan terbatas dan angka keparahan menjadi meningkat.
Inilah isu yang menjadi topik diskusi oleh Ruang Publik KBR berkolaborasi bersama NLR Indonesia. Mengangkat tema “Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi” disiarkan langsung melalui live streaming Youtube Berita KBR pada Jumat, 29 Oktober 2021. Mengundang nara sumber dr. Adriansyah selaku Pengurus Ikatan Dokter Indonesia, serta dr. Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia.
Kondisi kapasitas dokter di daerah endemis kusta
Dalam keterangannya dr. Udeng mengungkapkan berdasarkan data yang ada dari Kemenkes bahwa di Indonesia ada beberapa kabupaten yang masih belum mencapai eliminasi. Totalnya ada 110 kabupaten yang tersebar di 21 provinsi. Di samping ada 7 provinsi yang belum tereliminasi seperti Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara. Artinya prevalensi nya berada di atas 1 per 10.000 penduduk.
Wilayah daerah endemik kusta di Indonesia memerlukan perhatian khusus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan eliminasi kusta berbeda-beda di setiap daerah. Dimulai dari faktor lingkungan seperti kesehatan rumah termasuk di dalamnya perilaku hidup bersih. Hingga faktor kepadatan rumah penduduk yang ada di dalam suatu daerah.
Menjadi tantangan penanganan kusta yang ada di beberapa daerah terpencil. Apalagi sangat mungkin di daerah terpencil ini tidak selalu ada dokter. Sehingga diperlukan solusi untuk menghadapi permasalah ini. Karena lagi-lagi, dampak dari permasalahan ini adalah terhambatnya pasien kusta untuk mendapatkan rujukan. Terbatasnya akses transportasi di daerah terpencil turut menyulitkan petugas kesehatan untuk menjangkau pasien kusta yang ada di daerah tersebut. Oleh karenanya kebutuhan akan peningkatan kapasitas petugas kesehatan sangat perlu diperhatikan.
Menyambung mengenai kapasitas petugas kesehatan. dr. Adriansyah menerangkan bahwa jika dibandingkan dengan negara tetangga baik itu Malaysia, Singapura yang sudah lebih dari satu. Indonesia masih agak tertinggal dengan negara tetangga bila bicara tentang rasio dokter.
Hal ini didasarkan pada rekomendasi WHO yakni 1 per 1000. “Kalau menghitung ada diangka 240ribuan, sementara dokter umum ada diangka 150ribuan. Jika dilihat dari penduduk kita yang 270juta lebih. Dengan demikian, dokter umum angka rasionya berada di 0,6. Jadi, memang belum sampai satu. Masih dibilang kurang kalau menggunakan rekomendasi WHO”, ungkapnya.
Dampak rendahnya kapasitas dokter di daerah endemis kusta.
Seperti yang dikatakan oleh dr. Udeng bahwa petugas yang ada di daerah terpencil endemis kusta perlu ditingkatkan kapasitasnya agar penanganannya sampai paripurna. Kapasitas untuk keterampilan bagaimana menangani kusta. Ini dikarenakan pengobatan kusta yang memerlukan jangka waktu berbulan-bulan bahkan sampai 12 bulan.
Keterbatasan kapasitas petugas kesehatan juga dapat menghambat kewenangan pemberian rujukan jika ditemukan adanya kasus-kasus baru yang harus segera di tangani. Demikian pula aktivitas pelacakan pasien kusta bisa menemui hambatan bila tidak dilakukan pencarian. Sebagian besar banyak terjadi adalah pasien kusta yang secara sukarela mendatangi puskesmas.
Tentunya ini tidak cukup. Adanya pasien kusta yang datang ke puskesmas dapat menjadi suatu sinyal yang harus dilacak. Bagaimana kontak pasien dengan keluarga dan tetangga. Perlu dilakukan pemeriksaan dini atau bahkan daerah tersebut harus diamati dari tahun ke tahun. Adanya mapping dan tercatat pada buku register di puskesmas, maka dapat diketahui baik kasus baru ataupun indikasi kasus baru setiap tahun.
Sementara sebagaimana diketahui kalau sistem pendidikan kedokteran di Indonesia memang cukup panjang. Lulus sarjana kedokteran butuh 3-4 tahun. Setelah itu, koas 2 tahun dan dilanjutkan magang/intership selama 1 tahun. Belum lagi uji kompetesi yang wajib dilakukan. Fase-fase ini kadang terhambat sehingga tidak membuat semua yang masuk kedokteran langsung lulus secara bersamaan.
Dalam pernyataannya dr. Adriansyah menerangkan bahwa fakta dilapangan selain kuantitas yang belum sesuai dengan rekomendasi WHO pada jumlah dokter. Masalah utama yang sebenarnya adalah distribusi. Bahwa harus diakui distribusi dokter untuk di daerah terpencil masih kurang. Untuk itu bukan hanya peran IDI saja, butuh peran pemerintah terkait distribusi ini.
Ia menambahkan bahwa sebenarnya dokter-dokter ingin menempati daerah-daerah terpencil, tapi tentu banyak pertimbangan. Tidak hanya bicara tentang kesejahteraan, tapi juga banyak hal, misalnya keamanan, jaminan kesehatan, jaminan keamanan. Belum lagi jaminan pendidikan bahwa mereka ingin sekolah atau bahkan anak-anak mereka ketika bekerja di tempat terpencil. Bagaimana pendidikan anak-anak mereka. Hal-hal seperti itu yang kemudian banyak perlu untuk dicarikan jalan keluarnya, sehingga kita bisa menempatkan dokter ataupun tenaga kesehatan di daerah yang terpencil seperti itu.
Program yang dilakukan NLR Indonesia dan IDI
dr. Udeng menekankan penting penguatan medis baik dokter maupun para medis di daerah endemis kusta. Diharapkan peningkatan kapasitas dokter dengan adanya pelatihan formal dan informal, baik berupa workshop maupun job training dari kabupaten di puskesmas-puskesmas yang endemis. Sehingga diharapkan para dokter bisa ikut aktif dalam case management mulai dari pemeriksaan, sampai diagnosa pengobatan. Diharapkan pula bimbingan teknis dari tim kabupaten atau dari senior bisa berbagi pengalaman. Begitupun juga kembali membaca buku sehingga meningkatkan awareness.
Untuk NRL Indonesia sendiri, dr. Udeng mengatakan yakni Zero Leprosy, Zero Disability, dan Zero Stigma. Ketiga program dalam rangka menuju eliminasi zero. Kemitraan NLR juga dilakukan dengan pemerintah, profesi, stake holder serta tokoh masyarakat dan tokoh agama
Senada dengan dr. Udeng terkait penanganan kusta yang perlu dilakukan kontrol dengan baik agar patuh dalam melakukan pengobatan. Dari sisi profesi IDI, sudah menjadi tugas IDI adalah menjaga kompetensi dari dokter-dokter. Berkurangnya tenaga kesehatan sangat berpengaruh terhadap pelayanan pelayanan di masa pandemi. Secara signifikan tentunya mempengaruhi semua aspek pelayanan, termasuk penyakit kusta.
Terkait program peningkatan kapasitas dokter di masa pandemi. Dijelaskan dr. Adriansyah ada lima atau program yang dilakukan yaitu:
- IDI bertugas dan berusaha membina terlaksananya sumpah dokter dan kode etik Indonesia.
- Ikut serta dalam meningkatkan mutu pendidikan.
- Melakukan kemitraan dengan pemerintah terkait kebijakan-kebijakan pemerintahan.
- Kemitraan dengan pihak-pihak luar.
- Memberdayakan dan mengedukasi masyarakat
Eliminasi kusta diharapkan bisa tercapai di tahun 2024 dengan kerjasama semua pihak, bersinergi dan harus optimis.
Comments
Post a Comment